Sabtu, 18 April 2009

Mengenal etika profesi

ETIKA PROFESI

I. Pendahuluan

Untuk memahami apa itu etika, sesungguhnya kita perlu membandingkannya dengan moralitas. Baik etika dan moralitas sering dipakai secara dapat dipertukarkan dengan pengertian yang sering disamakan begitu saja. Ini sesungguhnya tidak sepenuhnya salah. Hanya saja perlu diingat bahwa etika bisa saja punya pengertian yang sama sekali berbeda dengan moralitas.

Sehubungan dengan itu, secara teoretis kita dapat membedakan dua pengertian etika – kendati dalam penggunaan praktis sering tidak mudah dibedakan. Pertama, etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti adat istiadat, atau kebiasaan, dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat ini berarti etika berkaitan dengan nilai-niali, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi yang satu ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.

Yang menarik disini, dalam pengertian ini etika justru persis sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata lain mos, yang dalam bentuk jamaknya mores berarti ‘adat istiadat’ atau kebiasaan. Jadi, dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiyahnya, etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana mausia harusa hidup. Baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajeg dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana laiknya sebuah kebiasaan.

Pada umumnya sistem nilai, sebagai sebuah kebiasaan hidup yang baik, lalu diturunkan dan diwariskan melalui agama dan kebudayaan dalam bentuk aturan atau norma yang diharapkan menjadi pegangan setiap penganut agama dan kebudayaan tersebut. dalam hal ini agama dan kebudayaan lalu dianggap sebagai sumber utama nilai moral dan atruran atau norma moral dan etika. Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai moral dan etika yang diajarkan atau dikenal dalam suatu kegiatan atau kebudayaan akan begitu berbeda dari nilai moral yang diajarkan dan dikenal dalam agama lain. Tanpa ingin memasuki diskusi yang rumit tentang soal ini, secara umum dapat dikatakan bahwa nilai moral yang dianut dalam semua agama sampai tingkat tertentu dapat diandaikan sama. Alasannya sederhana, karena moralitas dan etika menyentuh kehidupan manusia sebagai manusia terlepas dari agama dan budaya yang dianutnya. Agama dan budaya hanyalah wadah yang melembagakan nilai dan aturan moral tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia. Dengan demikian etika dan moralitas memberi petunjuk konkrit tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik sebagai manusia begitu saja, kendati petunjuk konkrit itu bisa disalurkan melalui dan bersumber dari agama atau kebudayaan tertent. Yang berbeda anatara lain nilai yang dianut satu agama dan budaya dengan nilai yang dianut agama dan budaya lainnya lebih menyangkut penerapan konkrit nilai tersebut. karena itu misalnya, semua agama mengutuk pemerkosaan, penindasan, pembunuhan, penipuan dan seterusnya.

Kedua, etika juga difahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian kedua ini, etika mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas. Etika dalam penggertian kedua ini dimengerti sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama diatas. Dengan demikian, etika dalam pegertian pertama, sebagai halnya moralitas, berisikan nilai dan norma-norma konkrit yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam seluruh kehidupannya. Ia berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang bersifat konkret. Maka, etika dalam pengertian ini lebih normatif dan karena itu lebih mengikat ke setiap pribadi manusia.

Sebaliknya, etika dalam pengertian kedua fungsi sebagai filsafat moral tidak langsung memberi perintah konkret sebagai pegangan siap pakai. Sebagai sebuah cabang filsafat, etika lalu sangat menekankan pendekatan kritis dalam melihat dan menggumuli nilai dan norma moral serta permasalahan-permasalaan moral yang timbul dalam kehidupan manusia, khususnya dalam bermasyarakat. Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dapat dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusiaharus hidup baik sebagai manusia, dan mengenai (b) masalah-maslah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.

Bisa difahami bahwa etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas dan kompleks dan berkaitan dengan seluruh bidang dan aspek kehidupan manusia. Bersamaan dengan itu, etika dalam pengertian kedua ini membutuhkan bantuan dan masukan dari hampir seluruh ilmu lain termasuk eksakta sekalipun semacam teori genetika dan kimia. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa etika lalu menjadi sebuah ilmu interdisiplin. Sebagai ilmu interdisiplin, di satu pihak ia bertumpu pada nilai dan norma-norma yang ada, tetapi di pihak lain ia juga mengandalkan kajian dan informasi dari ilmu lain untuk bisamengambil keputusan yang tepat baik untuk bertindak maupun untuk mengevaluasi tindakan tertentu yang telah dilaksanakan.

Secara umum kita dapat membagi etika menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum berbicara mengenai norma dan nilai moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika, lembaga-lembaga normatif (yang terpenting diantaranya adalah suara hati), dan semacamnya. Etika umum sebagai ilmu atau filsafat moral dapat dianggap sebagai etika teoritis, kendati istilah ini sesungguhnya tidak tepat karena bagaimanapun juga etika selalu berkaitan dengan perilaku dan kondisi praktis dan aktual dari manusia dalam kehidupannya sehari-hari dan tdak hanya semata-mata bersifat teoritis.

Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip atau norma-norma moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Dalam hal ini, norma dan prinsip moral diteropongi dalam konteks kekhususan bidang kehidupan manusia yang khusus tertentu.

Dengan kata lain, etika sebagai refleksi kritis rasional meneropongi dan merefleksi kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada norma dan nilai moral yang ada di satu pihak dan situasi khusus dari bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang dilakukan setiap orang atau kelompok orang dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, etika tidak lagi meneropong perilaku dan kehidupan manusia sebagai manusia begitu saja, melainkan meneropong perilaku dan kehidupan manusia sebagai manusia dalam bidang kehidupan dan kegiatan khusus tertentu. Maka, di satu pihak etika khusus memberi aturan sebagai pegangan, pedoman, dan orientasi praktis bagi setiap orang dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu yang dijalani dan dijalankannya. Namun, di pihak lain, etika khusus sebagai refleksi kritis atas kehidupan dan kegiatan khusus tertentu mempersoalkan praktek, kebiasaan, dan perilaku tertentu dalam kehidupan dan kegiatan khusus tertentu sesuai dengan norma umum tertetu di satu pihak dan kekhususan bidang kehidupan dan kegiatan tersebut di pihak lain. Jadi, perilaku dan kehidupan moral manusia di sini ditelaah berdasarkan kekhususan situasi dan problematika kehidupan dan kegiatan khusus tadi dengan tetap berlandaskan pada norma dan nilai umum tertentu.

Dalam kaitan dengan ini, etika khusus lalu dianggap sebagai etika terapan. Terapan, karena aturan normatif, yang bersifat umum diterapkan secara khusus sesuai dengan kekhususan dan kekhasan bidang kehidupan dan kegiatan khusus tertentu. Maka, dapat dikatakan bahwa etika khusus merupakan kontekstualisasi aturan moral umum dalam bidang dan situasi konkret. Pada tingkat ini, etika lalu menjadi aktual sekaligus menarik dan menantang. Ia menantang penilaian moral yang kritis atas dan berhadapan dengan situasi yang sangat konkret.

Baik etika umum maupun etika khusus atau etika terapan sama-sama mempunyai bidang lingkup yang sangat luas. Etika umum mempunyai lingkup yang luas, karena menyoroti seluruh kehidupan manusia sejauh sebagai manusia. Demikian pula etika terapan punya lingkup yang luas, karena hampir setiap bidang kehidupan dan kegiatan manusia dapat mempunyai etika khusus atau etika terapannya sendiri-sendiri. Kita lalu mengenal etika keluarga atau perkawinan , etika gender yang membahas pola hubungan pria wanita serta persoalan-persoalan yang berkaitan dengan itu, etika politik, etika lingkungan hidup, etika ilmu pengetahuan, etika profesi, dan sebagainya. Etika profesi mempunyai cakupan yang sangat luas , karena hampir setiap profesi dapat mengembangkan etikanya sendiri: etika kedokteran/medis untuk profesi medis, etika bisnis untuk kegiatan bisnis;etika hukum untuk profesi hukum, etika pegawai negeri, etika pendidikan, etika media massa, etika polisi dan militer, dan seterusnya. Bersama dengan itu etika profesi dapat pula bersentuhan dengan etika khusus lainnya seperti etika gender, sikap terhadap sesama, dan sebagainya. Karena itu, sebagaimana telah dikatakan di depan, etika lalu menjadi sebuah ilmu yang sangat luas bahkan menjadi sebuah ilmu lintas disiplin.

Etika khusus dibagi lagi menjadi tiga, yaitu etika individual, etika sosial, dan etika lingkugnan hidup. Etika individual lebih menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus relevan dalam etika individual ini adalah integritas pribadi, yang berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.

Etika sosial berbicara mengenai kewajiban dan hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya dengan sesamanya. Tentu saja sebagaimana hakikat manusia yang bersifat ganda, yaitu sebagai makhluk individual dan sosial, etika individual dan etika sosial berkaitan erat satu sama lain bahkan dalam arti tertentu sulit untuk dilepaskan dan dipisahkan satu sama lain. Karena, kewajiban seseorang terhadap dirinya berkaitan langsung dan dalam banyak hal mempengaruhi pula kewajibannya terhadap orang lain, dan demikian pula sebaliknya. Karena itu, sebagaimana akan terlihat dalam buku ini, justru dalam banyak kasus keduanya menempatkan setiap orang dalam posisi moral yang dilematis.

Karena etika sosial menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia , etika sosial mempunyai lingkup yang sangat luas. Ia menyangkut hubungan individual antara orang yang satu dengan orang yang lain, serta menyangkut interaksi sosial secara bersama, termasuk dalam bentuk-bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap paham atau ideologi tertentu, serta pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing.

Etika lingkungan hidup merupakan cabang etika khusus yang akhir-akhir ini semakin ramai dibicarakan. Etika lingkungan berbicara mengenai hubungan antara manusia baik sebagai individu maupun kelompok dengan lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain yang berdampak langsung atau tidak langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan. Karena itu, etika lingkungan dapat merupakan cabang dari etika sosial (sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia yang berdampak pada lingkungan) maupun berdiri sendiri sebagai etika khusus (sejauh menyangkut hubungan antara manusia dengan lingkungannya). Bisa dimengerti bahwa etika lingkugnan hidup dapat pula dibicarakan dalam rangka etika bisnis, karena pola interaksi bisnis sangat memepengaruhi lingkungan hidup.

Pada bagian pendahuluan ini juga penulis ingin sedikit mengulas mengenai dua teori etika. Telah kita katakan bahwa etika memberi kita pegangan atau orientasi dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini. Ini berarti tindakan manusia selalu mempunyai tujuan tertentu yang ingin dicapainya. Ada arah dan sasarn dari tindakan atau hidup manusia. Sehubungan dengan itu, timbul pertanyaan : Apakah bobot moral, atau baik buruknya suatu tindakan, terletak pada nilai moral tindakan itu sendiri ataukah terletak pada baik buruk serta besar kecilnya tujuan yang ingin dicapai itu. Maksudnya, apakah suatu tindakan dinilai baik karena memang pada dirinya sendiri baik, atau karena tujuan yang dicapainya memang baik, terlepas dari apakah tindakan itu sendiri pada dirinya sendiri baik atau tidak. Secara konkret, apakah menggelapkan uang perusahaan untuk menyelamatkan istri yang sedang sakit parah apakah suatu tindakan yang baik, karena tujuannya baik ataukah sebaliknya buruk secara moral karena memang menggelapkan uang pada dirinya sendiri buruk? Disinilah kita berhadapan dengan dua teori etika yang dikenal sebagai etika deontologi dan etika teleologi.

a. Etika Deontologi

Istilah ini berasal dari kata yunani ‘deon’, yang berarti kewajiban karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika ini, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasakan tindakan itu sendiri sebagai baik bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen untuk mengmbalikan hutangnya sesuai dengan kesepakatan untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, jadi nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.

Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari pelaku.

b. Etika Teleologi

Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan suatu tujuan yang akan dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna.

Misalnya, mencuri bagi etika teleologi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai secara moral sebagai tindakan baik, terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia bisa dihukum. Sebaliknya kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka tindakan itu dinilai jahat.

Atas dasar ini daapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi sebagaimana dimaksudkan Kahn.

Persoalan yang muncul sehubungan dengan etika teleologi adalah bagaimana menilai tujuan atau akibat baik dari suatu tindakan. Tujuan atau akibat itu untuk siapa ? Untuk saya pribadi, untuk para pengambil keputusan dan pelaksana keputusan itu saja ? atau untuk semua orang ? apakah tujuan itu baik hanya karena baik untuk saya atau memang baik karena berguna bagi banyak orang ? dalam menjawab pertanyaan ini muncul dua aliran teleologi yang berbeda. Yang pertama adalah egoisme etis dan yang lainnya adalah utilita rianisme. Karena utilita rianisme akan kita bahas secara khusus dalam kaitan dengan bisnis. Maka disini kita hanya menyinggung secara sekilat egoisme etis.

Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan proibadi dan memajukan dirinya sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Dalam bahasa Aristoteles, tujuan hidup dan tindakan setiap manusia adalah untuk mengejar kebahagiaannya. Bagi Aristoteles kebahagiaan ini adalah perwujudan diri manusia dalam segala potensinya secara maksimal.

Sampai disini egoisme ini dibenarkan secara moral, karena kebahagiaan, kepentingan pribadi (dalam bentuk hidup, hak, keamanan, dan sebagainya) secara moral dianggap baik dan pantas diupayakan dan dipertahankan. Adalah baik secara moral bahwa setiap orang mempertahankan hidupnya dan juga berusaha mengejar kebahagiaannya. Adalah baik dan etis bahwa setiap orang membela dirinya kalau diserang atau dirugikan. Adalah baik secara moral bahwa orang tidak membiarkan dirinya sebagai manusia dijadikan sebagai alat belaka demi tujuan lain diluar dirinya.

Egoisme ini baru menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis. Yaitu, ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai penikmatan fisik yang bersifat vulgar. Lalu yang baik secara moral disamakan begitu saja dengan kesenangan atau kenikmatan. Karena itu, tindakan yang baik secara moral diartikan sebagai tndakan yang bertujuan yang mendatangkan kenikmatan dan mengindari penderitaan. Akibatnya dengan segala macam cara orang yang menganut etika ini berusaha untuk memperoleh kenikmatan bagi dirinya dan menghindari hal-hal yang tidak mengenakkan.

Tanpa ingin mengulas lebih dalam etika ini, cukuplah dikatakan baha egoisme bisa baiok secara moral tapi bisa juga tidak. Baik, kalo tujuan yang dimaksud adalah kebahagiaan sebagai mana yang dimaksudkan oleh Aristoteles. Yaitu, kebahagiaan sdalam arti yang luas, dalam arti kepenuhan hidup karena perwujudan seluruh potensi dirinya. Bahkan termasuk di dalam,nya adalah kebahagiaannya yang tercapai ketika orang lain dibahagiakan. Namun sebaliknya, sebagaimana telah disinggung egoisme dapat menjadi negatrif ketika yang ditekankan hanyalah kenikmatan lahiriah belaka, apalagi kenikmatan lahiriah itu dicapai dengan mengorbankan hak dan kepentingan orang lain.

II. ETIKA PROFESI

Karena etika bisnis termasuk dalam etika profesi ada baiknya kita perlu meninjau terlebih dahulu etika profesi itu. Ini akan sangat membantu kita untuk memahami apa artinya bisnis sebagai sebuah profesi yang etis. Sejauh mana bisnis sebagai sebuah profesi ikut menciptakan kondisi dan citra yang etis bagi profesi bisnis ini. Namun sebelum kita menyinggung secara sekilas beberapa prinsip etika profesi pada umumnya. Ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu pengertian profesi itu sendiri serta beberapa ciri profesi.

a. Pengertian profesi

Kata atau istilah profesi dan juga profesional dan profesionalisme sangat sering kita dengar dan temukan dewasa ini, bahkan sering tanpa memahami pengertiannya yang sebenarnya. Kata ‘profesional’ dan profesionalisme menjadi semacam istilah kunci bagi kehidupan modern, khususnya bisnis. Semua orang seakan berlomba-lomba menjadi orang yang profesional dan sejalan dengan itu selalu didengungkan agar kita perlu meningkatkan profesionalisme kita. Namun, karena banyak masyarakat yang tidak terlalu memahami apa yang dimaksud dengan profesi, profesional ataupun profesionalisme.

Dalam beberapa referensi lain dijelaskan bahwa istilah profesi adalah suatu hal yang berkaitan dengan bidang tertentu atau jenis pekerjaan (occupation) yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetapi belum tentu dikatakan memiliki profesi yang sesuai. Dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup untuk menyatakan suatu pekerjaan dapat disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksaan, & penguasaan teknik intelektual yang merupakan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Maka orientasi utama profesi adalah untuk kepentingan masyarakat dengan menggunakan keahlian yang dimiliki. Akan tetapi tanpa disertai suatu kesadaran diri yang tinggi, profesi dapat dengan mudahnya disalahgunakan oleh seseorang seperti pada penyalahgunaan profesi seseorang dibidang komputer misalnya pada kasus kejahatan komputer yang berhasil mengcopy program komersial untuk diperjualbelikan lagi tanpa ijin dari hak pencipta atas program yang dikomesikan itu. Sehingga perlu pemahaman atas etika profesi dengan memahami kode etik profesi.

Sejalan dengan itu, menurut Richard T. De George[1] timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri sehubungan dengan istilah profesi, profesional dan profesionalisme yang dipakai secara obral dalam hampir semua segi kehidupan kebingungan ini timbul karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam profesi tertentu, belum tentu profesional kebingungan ini juga disebabkan karena aspek yang ditekankan orang tertentu ketika ia berbicara tentang kaum profesional dan profesionalisme berbeda- beda satu dengan yang lainnya.

Untuk kepentingan buku ini, ada baiknya kita rumuskan terlebih dahulu apa yang kita maksudkan dengan profesi dan juga sifat atau orang profesional serta profesionalisme. Profesi dapat dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan sebagai nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi dan dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam. Dengan demikian orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta punya komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Dengan kata lain, orang profesional adalah orang yang melakukan suatu pekerjaan karena ahli dibidang tersebut dan meluangkan seluruh waktu, tenaga, dan pekerjaannya untuk pekerjaan tersebut.

Namun ini saja tidak cukup. Orang yang profesional adalah orang yang mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh dirinya dan dengan giat, tekun, dan serius menjalankan pekerjaannya itu, karena ia sadar dan yakin bahwa pekerjaannya telah menyatu dengan dirinya. Pekerjaannya itu membentuk identitas dan kematangan dirinya, dan karena itu dirinya berkembang bersama dengan perkembangan dan kemajuan pekerjaannya itu. Ia tidak lagi sekedar menjalankan pekerjaannya sebagai hobi sekedar mengisi waktu luang, atau secara asal-asalan dan tidak terprogram. Komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar dan mendalam atas pekerjaannya itu.

Ada paling kurang tiga hal yang membedakan pekerjaan seorang profesional sebagai sebuah profesi dan pekerjaan sebagai sebuah hobi pertama. Pekerjaan sebagai hobi dijalankan terutama demi kepuasan dan kepentingan pribadi. Dalam kaitan dengan itu, kedua, pekerjaan sebagai hobi tidak punya dampak dan kaitan langsung yang serius dengan kehidupan dan kepentingan orang lain. Orang yang menjalankan suatu kegiatan / pekerjaan sebagai hobi tidak punya tranggung jawab moral yang serius atas hasil (dan) pekerjaan itu bagi orang lain. Ketiga, pekerjaan sebagai hobi bukan merupakan sumber utama dari nafkah hidupnya. Karena itu hampir bisa dipastikan bahwa tidak ada keseriusan, ketekunan, dan disiplin yang berpola dalam irama yang pasti yang ada hanyalah irama kerja, kalau ada yang sekadar sesuai dengan mood orang yang bersangkutan sebaliknya, profesi menuntut ketekunan, keuletan, disiplin, komitmen dan irama kerja yang pasti karena pekerjaan itu melibatkan secara langsung pihak-pihak yang lain. Pengusaha tidak bisa menjalankan bisnisnya seenaknya sesuai dengan mood-nya karena akan mempengaruhi tidak hanya keseluruhan mekanisme kerja perusahaan melainkan juga mekanisme kerja dan kepentingan pihak lain yang terkait.

Dalam kaitan dengan itu, untuk bisa melibatkan seluruh dirinya beserta keahlian dan keterampilannya demi keberhasilan pekerjaannya andaikan bahwa orang yang profesional ini mempunyai disiplin kerja yang tinggi. Namun, disiplin ini tidak pertama-tama dipacu dari luar oleh lingkungan, oleh aturan, oleh atasan, atau orang lain melainkan disiplin ini muncul dari dalam dirinya sendiri karena menyatunya dia dengan pekerjaan itu. Disiplin, ketekunan, dan keseriusan adalah perwujudan dari komitmennya atas pekerjaannya itu. Karena kemajuan dan perkembangan pekerjaannya menentukan perkembangan dirinya, disiplin diri lalu merupakan hal yang akan berjalan dengan sendirinya. Hanya dengan disiplin diri baik dalam waktu, dalam ketekunan, dalam menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, maupun dalam menempati rencana-rencana kerja yang telah digariskan tanpa harus menjadi budak dari semua itu, ia bisa sukses dan berguna bagi banyak orang.

Semua ini mengandalkan satu hal lain lagi yang tidak kalah pentingnya. Sebagaimana terungkap dalam pengertian profesi di atas, orang yang profesional selalu mengartikan pekerjaannya sebagai pekerjaan purna waktu dan hidup dari pekerjaannya itu. Ini berarti, orang tersebut harus memperoleh dan diberi imbalan yang memadai atas pekerjaan yang dilakukannya yang memungkinkannya untuk hidup secara layak sebagai manusia. Hanya dengan imbalan yang layak kita bisa menuntut dan mengharapkan seseorang untuk bekerja dengan tekun, rajin, giat, dan serius. Singkatnya, hanya dengan imbalan yang memadai ia dapat mempunyai komitmen pribadi yang mendalam atas pekerjaannya dan tanggung jawab penuh atas pekerjaannya dan atas pihak-pihak lain yang menjadi fokus pelayanan profesinya. Tanpa tiu, siapa pun akan dengan mudah melepaskan tanggung jawabnya dan mencari pekerjaan lain karena tuntutan pemenuhan kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Banyak kasus terjadi di mana kurangnya sikap profesional semata-mata disebabkan karena orang merasa tidak dibayar semestinya. Orang lalu tidak merasakan pekerjaannya sebagai bagian dari hidupnya, dari dirinya yang karena itu dijalani dengan penuh tanggung jawab.

Dari pemikiran-pemikiran di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah orang yang memang diandalkan dan dipercaya oleh masyarakat serta lingkungannya. Karena, di situ pihak masyarakat dan lingkungan tidak bisa melayani dirinya sendiri (karena tidak mempunyai keterampilan dan keahlian yang memadai untuk itu), di pihak lain karena orang profesional mempunyai keahlian dan keterampilan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan lingkungan. Jadi, masyarakat dan lingkungan percaya sepenuhnya pada kaum profesional karena keahlian dan keterampilan yang mereka miliki dalam melayani kebutuhan masyarakat sementara masyarakat sendiri tidak bisa melakukannya dengan hasil yang maksimal. Ini berarti masyarakat percaya bahwa pelayanan yang diberikan oleh kaum profesional akan membawa hasil dengan mutu yang baik dan memuaskan. Lebih dari itu, orang yang profesional juga diandalkan untuk dipercaya masyarakat karena mempunyai komitmen moral/pribadi serta tanggung jawab yang mendalam atas pekerjaannya. Orang mempercayakan kesehatannya kepada dokter karena dokter ahli dan punya komitmen moral. Masyarakat mempercayai guru untuk mendidik anaknya karena mereka tidak bisa melakukannya sendiri tetapi dipihak lain karena guru ahli dan terampil untuk itu dan punya komitmen dan tanggung jawab moral untuk mendidik anak. Singkatnya, orang-orang yang profesional adalah orang-orang yang diandalkan dan dipercaya karena mereka ahli, terampil, punya komitmen moral, bertanggung jawab, tekun, penuh disiplin dan serius dalam menjalankan tugas pekerjaannya.

Maka seorang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi yang tinggi dan mendalam. Ia bukan orang yang tidak tahu malu melakukan berbagai penyimpangan dalam profesinya. Ia bukan orang yang tidak tahu malu menerima suap, berkorupsi, berkolusi, melakukan pemalsuan, dan seterusnya hanya demi sesuatu yang di luar nilai dan tuntutan profesinya. Ia adalah orang yang tahu menjaga nama baiknya, komitmen moralnya, tuntutan profesi serta nilai dan cita-cita yang diperjuangkan oleh profesinya. Oleh karena beberapa hal tersebutlah mereka memiliki penghargaan tersendiri di hadapan masyarakat dan lingkungan.

Dengan demikian profesi memang sebuah pekerjaan, tetapi sekaligus tidak sama begitu saja dengan pekerjaannya pada umumnya. Profesi mempunyai tuntutan yang sangat tinggi, bukan saja dari luar melainkan terutama dari dalam diri orang itu sendiri. Tuntutan ini menyangkut tidak saja keahlian, melainkan juga komitmen moral, tanggung jawab, keseriusan, disiplin dan integritas pribadi yang benar-benar harus dilaksanakan.

Diantara profesi-profesi pada umumnya, dengan pengertian sebagaimana digariskan di atas, masih dibedakan lagi, profesi khusus yang disebut sebagai profesi luhur. Disebut sebagai profesi luhur karena menekankan pengabdian atau pelayanan kepada masyarakat pada umumnya melebihi hal-hal lainnya. Jadi, mula pertama profesi ini bukan semata-mata dan pertama-tama karena dorongan untuk mempunyai pekerjaan dan nafkah hidup tertentu. Melainkan pertama-tama untuk melayani masyarakat. Maka, orang yang memilih profesi ini terutama dan pertama-tama didorong untuk mengabdi masyarakat. Dengan kata lain, pekerjaan ini dijalankan dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan yang tinggi, dan dijalankan secara purna waktu, tetapi dengan mengutamakan pengabdian dan pelayanan kepada masyarakat. Memang dalam kenyataannya orang-orang yang mengemban profesi luhur ini juga butuh nafkah hidup dan bahkan hidup dari profesi ini. Akan tetapi, sasaran utama dalam menjalankan profesi luhur ini bukan terutama untuk memperoleh nafkah hidup, melainkan untuk mengabdi dan melayani kepentingan masyarakat atau orang lain. Hal ini terutama dijalaninya sebagai suatu panggilan hidupnya. Nafkah hidup terutama dilihat sebagai sekadar imbalan (akibat) yang masuk akal dari menjalankan profesi ini demi kepentingan masyarakat dan bukan sebagai tujuan utama dari kegiatan itu. Tidak mengherankan bahwa orang yang mempunyai profesi luhur bahkan bersedia mengorbankan hidupnya hanya demi menunaikan profesinya itu. Terkadang pengorbanannya tersebut dilakukan untuk menegaskan maksud dan tujuannya dalam menjalankan profesinya, karena dia tidak ingin membuat garis putus-putus dalam kehidupan profesinya, melainkan sebuah garis tebal yang merupakan identitas dirinya dalam menjalankan profesinya tersebut.

Contoh klasik dari profesi luhur ini, khususnya ketika mulai pertama munculnya profesi ini, adalah dokter, penasihat hukum atau pengacara, hakim dan jaksa, rohaniwan, tentara, dan sebagainya. Menurut tuntutan dan hakikat profesi-profesi ini orang-orang yang punya profesi ini akan selalu lebih mengutamakan kepentingan masyarakat daripada kepentingan dirinya. Sayangnya, perkembangan masyarakat agak mengubah citra profesi luhur ini sehingga tidak sering kita menemukan bahwa banyak orang yang punya profesi yang tadinya luhur kini malah memperdagangkan profesinya itu. Terlepas dari kenyataan bahwa masih ada banyak dokter, pengacara, hakim, dan jaksa yang punya komitmen moral yang luhur akan profesinya, tidak sering pula kita temukan dokter, pengacara, jaksa dan hakim yang melakukan tindakan yang bahkan sangat bertentangan dengan hakikat profesinya yang luhur itu. Kolusi di pengadilan adalah sebuah potret yang sangat betentangan dengan profesi pengadilan yang luhur, yang bertujuan menegakkan keadilan tapi malah mempraktekan ketidakadilan. Hal ini tentu saja bukan suatu kejadian yang tanpa alasan tertentu, dan oleh karenanya kejadian tersebut perlu dikaji lebih mendalam dengan berbagai landasan teori dan dengan melihat realita yang terjadi yang menyebkan adanya penyimpangan-penyimpangan dalam profesi tersebut.

Dalam kaitan dengan profesi pada umumnya, lama kelamaan hubungan antara pengabdian kepada masyarakat dan nafkah hidup berkembang menjadi saling mengisi dan mengkondisikan. Di satu pihak, para profesional ingin mengabdikan seluruh hidupnya demi kepentingan banyak orang. Namun, di pihak lain semakin ia profesional dalam menjalankan profesinya itu, semakin banyak pula ia memperoleh imbalan atas profesinya itu. Ini sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari profesionalismenya. Artinya, semakin baik dan profesional ia melayani masyarakat, semakin banyak pula orang yang menjadi langgannannya dan karena itu ia akan memperoleh imbalan yang semakin baik. Maka istilah profesional hampir identik dengan mutu, komitmen, tanggung jawab, dan bayaran yang tinggi. Hal ini menjadikan terkadang pelaku profesi menjadi lupa terhadap tujuan profesi yag ia jalankan sebenarnya dalam melayani masyarakat, dan kemudian hal ini menjadikan dia melakukan penyimpangan-penyimpangan tertentu dalam menjalankan profesinya tersebut hanya untuk kepentingan dirinya sendiri dan bukan melainkan untuk kepentingan masyarakat. Akibatnya yang dapat timbul sehubungan dengan penyimpangan perilaku dalam menjalankan profesi tersebut ialah masyarakat tidak lagi mempercayainya atau bahkan menindak lanjuti ke tingkat yang lebih tinggi (hukum) apabila penyimpangan yang telah dilakukannya terlalu besar dan sangat merugikan orang banyak.

Dalam sebuah referensi yang bisa didapatkan melalui media informasi internet, seorang pakar etika profesi Prof. DR. JE Sahetapy memulai pengutaraan pokok-pokok pikiran ini dengan mengemukakan kutipan pikiran Sharswood (abad 19) bahwa : Let it be remembered and treasured in the heart of every student that no one can ever be a truly great lawyer, who is not in every sense an honest man. Honest alias kejujuran adalah sesuatu yang sudah begitu sangat langka di negara kita ini. Dengan perkataan lain, seperti sudah tidak ada moral dan etika lagi di Indonesia, apalagi di bidang penegakan hukum. Atau dengan jargon spiritual, orang tidak memiliki lagi hati nurani sehingga dengan demikian tidak memiliki rasa malu. Yang dikejar cuma uang dan bukan harga diri berlandaskan kejujuran. Padahal mereka ini selalu mengklaim dirinya sebagai orang-orang taat beragama. Mengapa sampai demikian? Ada banyak argumentasi tentang hal ini. Di sini tidak akan saya beberkan argumentasi-argumentasi yang sudah basi itu sebab sudah banyak ditulis dalam media massa, terutama akhir-akhir ini bertalian dengan kasus-kasus celebre di pengadilan di Jakarta. Para tokoh politik / elite politik, para pemimpin bangsa dan negara, yang besar dan kecil, yang tinggi dan yang rendah, dipandang oleh masyarakat, tentu dengan beberapa perkecualian, sebagai orang-orang munafik. Lalu muncullah pemikiran bahwa perlu ada campur tangan agama. Sayangnya, para pemimpin di tempat di mana agama harus bersinar, terangnya justru redup dan ada kesan bahwa orang lebih condong pada ritualitas dan cuma dengan bangga mengutamakan simbol dan kulitnya. Percakapan tentang hal ini dipandang oleh sementara orang sebagai sesuatu yang sangat peka dan mudah dipicu salah paham atau sengaja berupa tuduhan yang samasekali tidak berdasar. Kekacauan moral dan etika di bidang hukum ibarat sudah pada tahap penyakit kanker stadium III. Keadilan dan kebenaran sudah menjadi komoditas tiap hari di bursa perdagangan uang. Bagaikan lingkaran setan, lingkaran itu harus diterobos untuk mencari dan memberantas setannya. Untuk itu, seumpama ikan busuk, bau busuk tidak di ekor ikan busuk tetapi justru di kepala ikan busuk. Ibarat air mengalir, tidak mungkin dimulai dengan pembersihan di hilir, tetapi seharusnya dimulai dari hulu. Dalam banyak hal berlaku pepatah Belanda: ''De pot verwijt de ketel'' alias belanga menuduh ketel bahwa pantatnya hitam, padahal dua-duanya sudah hitam. Kalau ada yang tersinggung, dianjurkan agar mereka ingat ungkapan Belanda bahwa ''Wie de schoen past, trekke hem aan'' alias kalau sepatunya cocok silakan pakai. Kalau tidak cocok atau kena, mengapa harus tersinggung. Semoga mereka tidak berlagak seperti orang Farisi. Generasi yang sekarang ini dikhawatirkan akan menjadi semacam the lost generation. Untuk itu diperlukan suatu tekad dari pelbagai kekuatan bidang kehidupan, dari seluruh aras dan lapisan masyarakat untuk memulai pembersihan dan jangan tanggung-tanggung. Ada pepatah Belanda: Zachre heelmeesters maken stinkende wonden. (Dokter yang tidak membersihkan luka borok dengan bersih atau tegas, maka luka itu akan berbau busuk). Yang pertama dan terutama tentu dari diri sendiri terlebih dulu, bukan dengan menghujat atau mencari kambing hitam. Kaum spiritual ternyata juga belum berhasil kecuali dalam wacana retorika yang gaungnya ibarat tong kosong. Boleh saja dimulai dengan suatu skala prioritas, misalnya, dengan menyusun undang-undang yang objektif, transparan dan tegas, dengan sanksi yang tidak diskriminatif. Namun orang frustrasi dan pesimis, sebab siapa yang harus mengawasi dan mengadili siapa. Peradilan, terutama pengadilan kita sudah begitu terkontaminasi dengan limbah beracun yang parah. Bahkan dikatakan bahwa mereka yang harus menjalankan kontrol sosial atau pers juga sudah tercemar. Di Belanda pernah ditulis sebuah buku tentang kebrengsekan dalam bidang hukum di abad lampau dengan judul De lach in het recht. (Tertawa dalam hukum). Di Indonesia kita tidak tertawa tetapi sedih dan menangis. Hal senada banyak diungkapkan oleh beberapa pakar etika profesi yang memberikan definisi mengenai definisi etika profesi itu sendiri dan dengan memberikan contoh nyata dan konkrit seperti pada uraian diatas agar pembaca dapat lebih memahami definisi etika profesi.

b. Ciri-ciri profesi

Berdasarkan uraian di atas, mari kita jabarkan secara lebih rinci beberapa ciri profesi, yang sekaligus diandaikan dimiliki oleh orang-orang yang profesional. Ciri-ciri ini bersifat umumnya dan terutama terkait dengan pengertian profesi tersebut di atas.

1. Adanya keahlian dan keterampilan khusus tertentu yang dimiliki oleh sekelompok orang yang profesional untuk bisa menjalankan pekerjaannya dengan baik. Keahlian dan keterampilan khusus ini umumnya dimiliki dengan kadar, lingkup, dan tingkat yang melebihi keahlian dan keterampilan orang kebanyakan lainnya. Ini berarti kaum profesional itu lebih ahli dan terampil dalam bidang profesinya daripada orang-orang lain. Keahlian dan keterampilan ini biasanya dimilikinya berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang diperolehnya selama bertahun-tahun. Bahkan pendidikan dan pelatihan itu (formal maupun informal) dijalaninya dengan tingkat seleksi yang sangat ketat dan keras. Pengetahuan atau keahlian dan keterampilan ini memungkinkan orang yang profesional itu mengenali dengan cukup cepat dan tepat persoalan yang dihadapi serta solusi yang tepat untuk itu. Dengan kata lain, pengetahuan dan keterampilan ini memungkinkan orang profesional ini menjalankan tugasnya dengan tingkat keberhasilan dan mutu yang paling baik. Karena itu, bisa dimengerti bahwa masyarakat lalu mempercayakan persoalan yang dihadapinya pada orang yang profesional ini karena seluruh kemampuan yang dimilikinya tersebut..

2. Adanya kemitmen moral tinggi. Komitmen moral ini biasanya dituangkan, khususnya untuk profesi yang luhur, dalam bentuk aturan khusus yang menjadi pegangan / pedoman bagi setiap orang yang mengemban profesi yang bersangkutan. Aturan ini berlaku sebagai semacam kaidah moral yang khusus bagi orang-orang yang mempunyai profesi tersebut. Ia merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasanya disebut sebagai kode etik (misalnya, kode etik kedokteran, kode etik pengacara, kode etik wartawan, kode etik akuntan publik, dan semacamnya atau pula sapta marga bagi tentara). Kode etik ini harus dipenuhi dan ditaati oleh semua orang yang mempunyai profesi tersebut. Biasanya kode etik ini berisi tuntutan keahlian dan komitmen moral yang berada di atas tingkat rata-rata tuntutan bagi orang kebanyakan dan sekaligus merupakan tuntutan minimal yang harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar kalau ia masih mau tetap mengemban profesi tersebut. Karena itu, kode etik merupakan suatu tuntutan yang sangat keras sebagai syarat minimal yang harus dipenuhi bagi orang yang mempunyai profesi tersebut. Ia menyangkut apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang harus didahulukan dan apa yang boleh dikorbankan dalam situasi konflik atau dilematis tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu profesi. Kode etik ini menentukan identitas dan perilaku, khususnya perilaku moral dari para profesional tersebut. Ia mengungkapkan cita-cita, keluhuran, dan jiwa profesi yang bersangkutan. Dengan demikian, lama-kelamaan masyarakat dengan sendirinya tahu bahwa seorang profesional dalam profesi pengadilan misalnya, akan dengan sendirinya hanya satu cita-cita, yaitu menegakkan keadilan apa pun konsekuensinya. Ia dengan sendirinya akan mengutamakan keadilan lebih dari segala hal lainnya. Dengan kode etik atau komitmen moral pada umumnya ini menjadi jelas bagi kita bahwa keahlian saja tidak cukup untuk menyebut seseorang sebagai orang yang profesional. Karena, keahlian bisa saja merugikan manusia. Karena ahli dan terampil dalam bidang tertentu, seseorang bisa saja menggunakan keahliannya untuk menghancurkan hidup orang lain. Orang yang ahli di bidang hukum dapat dengan mudah menggunakan keahliannya itu untuk menghukum orang yang tidak bersalah. Dengan keahliannya di bidang medis, dokter bisa saja dengan mudah menghancurkan kesehatan dan hidup orang lain. Maka, kode etik atau komitmen moral pada akhirnya memperlihatkan dengan jelas bahwa orang yang profesional bukan saja ahli dan terampil, melainkan juga adalah orang yang punya komitmen moral yang tinggi. Ia bukan sekadae tukang yang pandai tetapi juga manusia yang punya hati dan naluri moral yang tinggi. Ada dua sasaran pokok dari kode etik ini. Pertama, kode etik bermaksud melindungi masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian entah secara sengaja atau tidak sengaja dari kaum profesional. Kode etik menjamin bahwa masyarakat yang telah mempercayakan diri, hidup, barang milik, atau perkaranya kepada orang yang profesional itu tidak akan dirugikan oleh orang yang profesional itu. Kedua, kode etik juga bertujuan melindungi keluhuran profesi tersebut dari perilaku-perilaku bobrok orang-orang tertentu yang mengaku diri profesional. Dengan kode etik ini setiap orang yang punya profesi tersebut bisa dipantau sejauh mana ia masih seorang profesional di bidangnya, tidak hanya sehubungan dengan keahliannya melainkan juga komitmen moralnya. Yang menarik adalah bahwa kode etik menjembatani etika dan moralitas di satu pihak dan hukum di pihak lainnya. Di satu pihak, kode etik merupakan kaidah moral yang berlaku khusus untuk orang-orang profesional di bidang tersebut. namun berbeda dengan kaidah moral pada umumnya, kaidah moral ini tidak lagi muncul dalam bentuk imbauan tidak tertulis, melainkan telah dikodifikasikan menjadi aturan tertulis. Karena itu, kendati merupakan kaidah moral, ia dilengkapi dan ditunjang oleh sanksi yang memungkinkan keberlakuan kaidah moral ini jauh lebih pasti sebagaimana halnya dalam hukum positif pada umumnya. Demikian pula ia menjadi pegangan yang jauh lebih konkret (dapat dirujuk berdasarkan nomor urut kode etik). Karena itu, dalam arti tertentu kode etik menjadi lebih tegas dan pasti sifatnya dibandingkan dengan kaidah moral pada umumnya (yang hanya mengimbau), tanpa kehilangan hakikatnya sebagai kaidah moral. Komitmen moral pada umumnya atau kode etik khususnya juga menunjukan bahwa tidak semua pekerjaan adalah profesi. Bahkan tidak semua pekerjaan yang mengandalkan keahlian dan keterampilan khusus dan yang dijalankan sebagai nafkah hidup adalah profesi. Karena itu, pekerjaan yang bertentangan dengan moralitas dan profesi dalam pengertian sebenarnya. Mafia sering tidak bisa dianggap sebagai sebuah profesi, tapi bukan dalam pengertian sebenarnya karena merupakan sebuah pekerjaan jahat. Sehingga dapat disimpulkan secara kasar bahwa kode etik ini merupakan identitas seseorang secara profesional dan kaidah yang mengatur seorang presional mengenai perilaku profesinya, baik untuk kedalam maupun keluar dirinya.

3. Biasanya orang yang profesional adalah orang yang hidup dari profesinya. Pertama, ini berarti ia hidup sepenuhnya dari profesinya tersebut. Biasanya ia dibayar dengan gaji yang sangat tinggi sebagai konsekuensi dari pengerahan seluruh tenaga, pikiran, keahlian, keterampilan yang dimilikinya. Singkatnya seluruh hidupnya demi profesinya ini. Kedua, ini berarti profesinya telah membentuk identitas orang tersebut. ia tidak bisa lagi dipisahkan dari profesinya itu. Yang berarti, ia menjadi dirinya berkat dan melalui profesinya. Maka, ia tampil dan dikenal dalam masyarakat melalui dan karena profesinya. Profesi lalu menjadi sebuah bentuk sosialisasi peran dalam masyarakat. Konsekuensinya, orang yang profesional bangga dan bahagia dengan profesinya terlepas dari status sosial profesinya. Dalam hal ini dapat dicontohkan bahwa seorang pria yang memiliki profesi sebagai dokter biasa dipanggil Pak Dokter oleh masyarakat di lingkungannya atau juga atau misalnya Bu Bidan, padahal sebutan tersebut adalah nama profesinya dan bukan nama orang tersebut. Ini membuktikan bahwa seseorang yang berprofesi, lebih dikenal di masyarakat dengan sebutan profesinya tersebut.

4. Pengabdian kepada masyarakat. Adanya komitmen moral yang tertuang dalam kode etik profesi ataupun sumpah jabatan menyiratkan bahwa orang-orang yang mengemban profesi tertentu, khususnya profesi luhur, lebih mendahulukan dan mengutamakan kepentikngan masyarakat daripada kepentingan pribadinya. Kendati, kepentingan pribadi secara moral baik, atas dasar tuntutan profesinya mereka lebih mengutamakan pengabdian kepada klien, pasien, atau masyarakat yang meminta bantuan dan pelayanan mereka. Demikian pula, karena hanya mereka yang memiliki keahlian dan keterampilan khusus di bidang tersebut, keahlian dan keterampilan khusus itu terutama dimaksudkan untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkannya (tanpa berarti pelayanan itu selalu diberikan seecara cuma-cuma). Ini kemudian berkembang menjadi sikap hidup profesional. Yaitu, bahwa orang yang profesional akan melayani, mangabdi, dan membantu masyarakat dengan keahlian dan keterampilannya sampai tuntas, yaitu sampai ada hasil yang memuaskan, baik bagi orang yang dilayani maupun bagi orang yang profesional itu sendiri. Dengan kata lain, orang yang profesional punya komitmen moral untuk memecahkan persoalan yang dihadapi kliennya sampai tuntas. Hal ini juga dapat digambarkan bahwa biasanya orang yang profesional memiliki kepuasan batin tertentu pada saat dia akan, sedang maupun menuntaskan sesuatu pekerjaan sesuai dengan profesinya tersebut.

5. Pada profesi luhur biasanya ada izin khusus untuk menjalankan profesi tersebut. Izin khusus ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari pelaksanaan profesi yang tidak becus. Seorang dokter yang salah melakukan perawatan dapat mengakibatkan pasiennya akan cacat seumur hidup atau bahkan meninggal. Pengacara yang salah dalam membela sebuah perkara, hanya demi mendapat uang dan nama, dapat mengakibatkan orang yang bersalah dibebaskan sebaliknya orang yang tidak bersalah dijebloskan ke dalam penjara dan menghancurkan seluruh hidupnya beserta hidup semua orang yang menjadi tanggung jawabnya. Akuntan publik yang memanipulasi audit supaya sebuah perusahaan bisa go publik dengan mendapatkan imabalan tertentu akan merugikan banyak pihak yang tertarik membeli saham perusahaan itu hanya karena terkecoh oleh manipulasinya tadi. Oknum polisi menyidik yang berkolusi dengan pejabat yang menjadi pelaku pembunuhan atau korupsi akan melecehkan rasa keadilan masyarakat bahkan secara arogan, transparan dan tidak kenal rasa malu dan sebagainya dengan kata lain, izin mrupakan bentuk perlindungan awal atas kepentingan masyarakat. Izin profesi mencegah agar kepentingan masyarakat tidak dirugikan oleh profesi tertentu. Izin profesi juga sesungguhnya merupakan tanda bahwa orang tersebut mempunyai keahlian, keterampilan, dan komitmen moral yang diandalkan dan dapat dipercaya. Dengan itu, masyarakat tidak perlu ragu dan dapat menyerahkan seluruh persoalan yang dihadapinya pada kaum profesional di bidangnya. Namun, bersamaan dengan itu, izin dimaksudkan untuk melindungi keluhuran profesi tersebut dari kemungkinan disalahgunakan oleh orang-orang tertentu yang tidak profesional atau paling kurang untuk melindungi citra luhur profesi tersebut agar tidak dicemari oleh orang-orang yang tidak becus, wujud dari izin ini, dalam kerangka luas, bisa berbentuk surat izin, sumpah, kaul, atau pengukuhan resmi di depan umum. Yang berhak memberi izin adalah negara sebagai penjamin, petinggi kepentingan masyarakat. Namun juga bisa kelompok, organisasi di bidang yang bersangkutan melalui pengujian dan pemeriksaan yang sama sehingga orang tersebut dianggap dapat diandalkan dalam menjalankan profesinya. Sebagai contoh izin profesi biasanya dituangkan secara tertulis dalam bentuk sertifikasi khusus maupun umum sesuai bidang profesi yang ditekuni, misalnya izin membuka praktik bagi dokter, sertifikat teknisi komputer khusus jaringan, sertifikasi menjahit dan lain sebagainya.

6. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu organisasi profesi. Beberapa yang bisa disebut adalah IDI untuk profesi dokter, IAI untuk akuntan, ikadin untuk advokad, dan sebagainya. Tujuan organisasi profesi ini terutama adalah untuk menjaga dan melindungi keluhuran profesi tersebut. tugas pokoknya adalah menjaga agar standar keahlian dan keterampilan tidak dilanggar, kode etik tidak dilanggar, dan berarti menjaga agar kepentingan masyrakat tidak dirugikan oleh pelaksanaan profesi tersebut oleh anggota manapun. Dalam konteks ini, organisasi tersebut yang akan mengeluarkan izin praktek (atau memberi rekomendasi untuk mendapatkan) bagi anggota baru serta menindak anggota yang melanggar baik kode etik profesinya maupun standar keahlian dan keterampilan yang dituntut secara minimal oleh profesi tersebut. ini menunjukan bahwa organisasi itu juga berfungsi. Untuk menjaga agar tujuan profesi tersebut yang terkait dengan hakikatnya bisa terwujud melalui pekerjaan setiap anggotanya. Organisasi profesi lalu menjadi semacam polisi moral bagi anggota profesi itu yang akan menindak anggota mana saja yang melanggar kode etika dan hakikat profesi tersebut, karena pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan secara anggota akan merusak citra seluruh profesi itu. Namun ini, mengandaikan bahwa organisasi profesi itu sendiri punya wibawa moral serta mampu bertindak secara netral dan tegas secara pandang dan tanpa pandang bulu pada siapa saja yang melanggar kode etika profesi. Kinerja organisasi ini dapat berjalan baik dalam menegakkan etika profesi kepada profesional selama tidak terkontaminasi / teracuni oleh suatu pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di dalam organisasi tersebut. Misalnya saja dalam beberapa kasus ada polisi yang terbukti melakukan kesalahan kemudian dibebaskan dari tuntutan pengadilan militer maupun pengadilan publik hanya karena dia memilki keluarga atau relasi dekat di tingkat atas peradilan tersebut atau di tingkat atas kepolisian. Hal ini tentu saja dapat mengganggu jalannya sebuah organisasi dalam menegakkan etika profesi kepada profesional.

c. Prinsip-prinsip etika profesi

Tuntutan profesional sangat erat hubungannya dengan suatu kode etik untuk masing-masing profesi. Kode etik itu berkaitan dengan prinsip etika tertentu yang berlaku untuk suatu profesi. Di sini akan dikemukakan empat prinsip etika profesi yang paling kurang berlaku untuk semua profesi pada umumnya. Tentu saja prinsip-prinsip ini sangat minimal sifatnya, karena prinsip-prinsip etika pada umumnya yang paling berlaku bagi semua orang, juga berlaku bagi kaum profesional sejauh mereka adalah manusia. [2]

1. Pertama, prinsip tanggung jawab. Tanggung jawab adalah satu prinsip pokok bagi kaum profesional, orang yang profesional sudah dengan sendirinya berarti orang yang bertanggung jawab. Pertama, bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya. Maksudnya, orang yang profesional tidak hanya diharapkan melainkan juga dari dalam dirinya sendiri menuntut dirinya untuk bekerja sebaik mungkin dengan standar di atas rata-rata, dengan hasil yang maksimum dan dengan moto yang terbaik. Ia bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin dan dengan hasil yang memuaskan dengan kata lain. Ia sendiri dapat mempertanggungjawabkan tugas pekerjaannya itu berdasarkan tuntutan profesionalitasnya baik terhadap orang lain yang terkait langsung dengan profesinya maupun yang terhadap dirinya sendiri. Kedua, ia juga bertanggung jawab atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Pada tingkat dimana profesinya itu membawa kerugian tertentu secara disengaja atau tidak disengaja, ia harus bertanggung jawab atas hal tersebut, bentuknya bisa macam-macam. Mengganti kerugian, pengakuan jujur dan tulus secara moral sebagai telah melakukan kesalahan: mundur dari jabatannya dan sebagainya. [3]

2. Prinsip kedua adalah prinsip keadilan[4]. Prinsip ini terutama menuntut orang yang profesional agar dalam menjalankan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya demikian pula. Prinsip ini menuntut agar dalam menjalankan profesinya orang yang profesional tidak boleh melakukan diskriminasi terhadap siapapun termasuk orang yang mungkin tidak membayar jasa profesionalnya .prinsip “siapa yang datang pertama mendapat pelayanan pertama” merupakan perwujudan sangat konkret prinsip keadilan dalam arti yang seluas-luasnya .jadi, orang yang profesional tidak boleh membeda-bedakan pelayanannya dan juga kadar dan mutu pelayanannya itu jangan sampai terjadi bahwa mutu dan itensitas pelayanannya profesional dikurangi kepada orang yang miskin hanya karena orang miskin itu tidak membayar secara memadai. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kasus yang sering terjadi di sebuah rumah sakit, yang mana rumah sakit tersebut seringkali memprioritaskan pelayanan kepada orang yang dianggap mampu untuk membayar seluruh biaya pengobatan, tetapi mereka melakukan hal sebaliknya kepada orang miskin yang kurang mampu dalam membayar biaya pengobatan. Penyimpangan seperti ini sangat tidak sesuai dengan etika profesi, profesional dan profesionalisme, karena keprofesionalan ditujukan untuk kepentingan orang banyak (melayani masyarakat) tanpa membedakan status atau tingkat kekayaan orang tersebut.

3. Prinsip ketiga adalah prinsip otonomi. Ini lebih merupakan prinsip yang dituntut oleh kalangan profesional terhadap dunia luar agar mereka diberi kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Sebenarnya ini merupakan kensekuensi dari hakikat profesi itu sendiri. Karena, hanya kaum profesional ahli dan terampil dalam bidang profesinya, tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur tangan dalam pelaksanaan profesi tersebut. ini terutama ditujukan kepada pihak pemerintah. Yaitu, bahwa pemerintah harus menghargai otonomi profesi yang bersangkutan dan karena itu tidak boleh mencampuri urusan pelaksanaan profesi tersebut. Otonomi ini juga penting agar kaum profesional itu bisa secara bebas mengembangkan profesinya, bisa melakukan inovasi, dan kreasi tertentu yang kiranya berguna bagi perkembangan profesi itu dan kepentingan masyarakat luas. Namun begitu tetap saja seorang profesional harus diberikan rambu-rambu / peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk membatasi / meminimalisir adanya pelanggaran yang dilakukan terhadap etika profesi, dan tentu saja peraturan tersebut ditegakkan oleh pemerintah tanpa campur tangan langsung terhadap profesi yang dikerjakan oleh profesional tersebut.

Hanya saja otonomi ini punya batas-batasnya juga. Pertama, prinsip otonomi dibatasi oleh tanggung jawab dan komitmen profesional (keahlian dan moral) atas kemajuan profesi tersebut serta (dampaknya pada) kepentingan masyarakat. Jadi, otonomi ini hanya berlaku sejauh disertai dengan tanggung jawab profesional. Secara khusus, dibatasi oleh tanggung jawab bahwa orang yang profesional itu, dalam menjalankan profesinya secara otonom, tidak sampai akan merugikan hak dan kewajiban pihak lain. Kedua, otonomi juga dibatasi dalam pengertian bahwa kendati pemerintah di tempat pertama menghargai otonom kaum profesional, pemerintah tetap menjaga, dan pada waktunya malah ikut campur tangan, agar pelaksanaan profesi tertentu tidak sampai merugikan kepentingan umum. Jadi, otonomi itu hanya berlaku sejauh tidak sampai merugikan kepentingan bersama. Dengan kata lain, kaum profesional memang otonom dan bebas dalam menjalankan tugas profesinya asalkan tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tetentu, termasuk kepentingan umum. Sebaliknya, kalau hak dan kepentingan pihak tertentu dilanggar, maka otonomi profesi tidak lagi berlaku dan karena itu pemerintah wajib ikut campur tangan dengan menindak pihak yang merugikan pihak lain tadi. Jadi campur tangan pemerintah disini hanya sebatas pembuatan dan penegakan etika profesi saja agar tidak merugikan kepentingan umum dan tanpa mencampuri profesi itu sendiri. Adapun kesimpangsiuran dalam hal campur tangan pemerintah ini adalah dapat dimisalkan adanya oknum salah seorang pegawai departemen agama pada profesi penghulu, yang misalnya saja untuk menikahkan sepasang pengantin dia meminta bayaran jauh lebih besar daripada peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

4. Prinsip integritas moral. Berdasarkan hakikat dan ciri-ciri profesi di atas terlihat jelas bahwa orang yang profesional adalah juga orang yang punya integritas pribadi atau moral yang tinggi. Karena, ia mempunyai komitmen pribadi untuk menjaga keluhuran profesinya, nama baiknya dan juga kepentingan orang lain dan masyarakat. Dengan demikian, sebenarnya prinsip ini merupakan tuntutan kaum profesional atas dirinya sendiri bahwa dalam menjalankan tugas profesinya ia tidak akan sampai merusak nama baiknya serta citra dan martabat profesinya. Maka, ia sendiri akan menuntut dirinya sendiri untuk bertanggung jawab atas profesinya serta tidak melecehkan nilai yang dijunjung tinggi dan diperjuangkan profesinya. Karena itu, pertama, ia tidak akan mudah kalah dan menyerah pada godaan atau bujukan apa pun untuk lari atau melakukan tindakan yang melanggar niali uang dijunjung tinggi profesinya. Seorang hakim yang punya integritas moral yang tinggi menuntut dirinya untuk tidak mudah kalah dan menyerah atas bujukan apa pun untuk memutuskan perkara yang bertentangan dengan prinsip keadilan sebagai nilai tertinggi yang diperjuangkan profesinya. Ia tidak akan mudah menyerah terhadap bujukan uang, bahkan terhadap ancaman teror, fitnah, kekuasaan dan semacamnya demi mempertahankan dan menegakkan keadilan. Kendati, ia malah sebaliknya malu kalau bertindak tidak sesuai dengan niali-nilai moral, khususnya nilai yang melekat pada dan diperjuangkan profesinya. Sikap malu ini terutama diperlihatkan dengan mundur dari jabatan atau profesinya. [5] Bahkan, ia rela mati hanya demi memepertahankan kebenaran nilai yang dijunjungnya itu. Dengan kata lain, prinsip integritas moral menunjukan bahwa orang tersebut punya pendirian yang teguh, khususnya dalam memperjuangjan nilai yang dianut profesinya. Biasanya hal ini (keteguhan pendirian) tidak bisa didapat secara langsung oleh pelaku profesi (profesional), misalnya saja seorang yang baru lulus dari fakultas kedokteran tidak akan langsung dapat menjalankan seluruh profesi kedokterannya tersebut, melainkan dengan pengalaman (jam terbang) dokter tersebut dalam melayani masyarakat.

III. Menuju bisnis sebagai profesi luhur.

Baru belakangan ini bisnis dianggap sebagai sebuah profesi. Bahkan belakangan ini, bisnis seakan memonopoli sebutan profesi, tetapi sekaligus juga menyebabkan pengertian profesi menjadi rancu atau kehilangan pengertian dasarnya. Ini terutama karena bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional. Persaingan bisnis yang ketat, dewasa ini menuntut dan menyadarkan para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional. Profesionalisme lalu akan menjadi keharusan. Hanya saja, sering sikap profesional dan profesionalisme yang dimaksudkan dalam dunia bisnis hanya terbatas pada kemampuan teknis menyangkut keahlian dan keterampilan yang terkait dengan bisnis:manajemen, produksi, pemasaran, keuangan, personalia, dan seterusnya. Ini terutama dikaitkan dengan prinsip efisiensi demi mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Kemudian hal tersebut menjadikan tuntutan kepada pelaku bisnis dalam menjalankan profesinalisme, baik langsung maupun tidak langsung.

Yang sangat dilupakan dan tidak banyak mendapat perhatian adalah bahwa profesionalisme dan sikap profesional juga mengandung pengertian komitmen pribadi dan moral pada profesi tersebut dan pada kepentingan pihak-pihak yang terkait. Orang yang profesional selalu berarti orang yang punya komitmen pribadi yang tinggi, yang serius dalam menjalankan pekerjaannya, yang bertanggung jawab atas pekerjaannya agar tidak sampai merugikan pihak orang lain. Orang yang profesional adalah orang yang menjalankan pekerjaannya secara tuntas dengan hasil dan mutu yang sangat baik karena komitmen dan tanggung jawab moral pribadi yang dimilikinya. Seperti yang telah disebutkan diatas sehingga orang yang profesional dapat dinilai secara umum dari kualitas pekerjaan yang diselesaikannya.

Ini sering dilupakan dalam dunia bisnis. Itu sebabnya mengapa bisnis hampir tidak pernah atau belum pernah dianggap sebagai sebuah profesi luhur. Bahkan sebaliknya seakan ada jurang yang memisahkan dunia bisnis dengan etika. Tentu saja ini teutama disebabkan oleh pandangan dan anggapan masyarakat yang melihat bisnis sebagai sebuah pekerjaan yang kotor, penuh tipu menipu, penuh kecurangan dan dicemoohkan. Bahkan tidak hanya masyarakat, melainkan sering orang bisnis menganggap dirinya bahwa memang pekerjaannya adalah tipu menipu, makan memakan, caplok mencaplok hanya demi keuntungan belaka. Jadi, mereka sendiri menilai dirinya sebagai orang orang kotor, yang disimbolkan oleh lintah darat, yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak fair, secara tidak halal, dan dengan memakan orang lain. Seakan pertanyaan utama bagi orang bisnis bukan lagi besok makan apa? Atau besok makan di mana? Melainkan besok makan siapa? Hal ini tentu saja dapat terjadi karena penyimpangan yang dilakukan oleh seorang profesional tersebut. Seorang profesional yang menyalahgunakan keahlian dan keterampilan yang dia miliki sehingga banyak pihak yang dirugikan.

Kesan dan sikap masyarakat, serta orang bisnis sendiri, seperti itu disebabkan oleh ulah orang-orang, atau lebih tepat beberapa orang bisnis yang memperlihatkan citra yang begitu negatif tentang bisnisnya di mata masyarakat. Beberapa orang bisnis yang hanya ingin mengejar keuntungan dengan menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang rendah, yang tidak mempedulikan pelayanan kensumen bahkan tidak mempedulikan keluhan konsumen, yang menawarkan barang tidak seperti diiklankan atau tidak sebagaimana tertera pada labelnya, yang mencaplok bisnis atau perusahaan lain, yang begitu negatif. Maka, bisnis terlanjur dianggap sebagai profesi yang kotor, atau paling kurang jauh dari sentuhan etika dan moralitas. Padahal tidak semua bisnis adalah kotor tetapi bagaimana pelaku profesi bisnis itu sendiri dalam menjalankan bisnisnya. Karena semua pelaku bisnis tidaklah memiliki karakter dan watak yang sama, mereka yang menyimpang dari bagaimana seharusnya menjalankan profesi mereka dengan baik, hanya memikirkan keuntungan yang sebesar-sebesarnya tanpa memikirkan akibatnya ataupun dampak negatif dari penyimpangan tersebut.

Berdasarkan pengertian profesi yang menekankan keahlian dan keterampilan yang tinggi serta komitmen moral yang mendalam, maka jelas kiranya bahwa pekerjaan yang kotor tidak akan disebut sebagai profesi. Karena itu sesungguhnya bisnis bukanlah merupakan profesi, kalau bisnis dianggap sebagai pekerjaan kotor, kendati kata profesi, profesional, dan profesionalisme sering begitu diobral dalam kaitan dengan kegiatan bisnis. Namun di pihak lain tidak dapat disangkal bahwa ada banyak orang bisnis dan juga perusahaan yang sangat menghayati pekerjaan dan kegiatan bisnisnya sebgai sebuah profesi dalam pengertiannya sebagaimana kita jelaskan di atas. Mereka hanya mempunyai keahlian dan keterampilan yang tinggi atau punya komitmen moral yang mendalam. Karena itu, bukan tidak mungkin bahwa bisnis pun dapat menjadi sebuah profesi dalam pengertiannya yang sebenar-benarnya bahkan menjadi sebuah profesi yang luhur. [6]

Untuk melihat tepat tidaknya kata profesi dipakai juga untuk dunia bisnis dan untuk melihat apakah bisnis dapat menjadi sebuah profesi yang luhur, mari kita tinjau dua pandangan dan penghayatan yang beda mengenai pekerjaan dan kegiatan bisnis yang dianut oleh para pelaku bisnis

a. Pandangan praktis realistis.

Pandangan pertama saya sebut pandangan praktis realistis, karena pandangan ini terutama bertumpu pada kenyataan (pada umumnya) yang diamati berlaku dalam dunia bisnis dewasa ini. Pandangan ini didasarkan pada apa yang umumnya dilakukan oleh orang-orang bisnis. Pandangan ini melihat bisnis sebagai sesuatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut, memproduksi, menjual dan membeli, barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Secara garis besar, tipe ini disebut realistis karena perjalanan bisnisnya dilakukan secara wajar (sesuai dengan prosedur bisnis pada dasarnya).

Dalam pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan utama bisnis, bahkan tujuan satu-satunya, adalah mencari keuntungan. Bisnis adalah suatu kegiatan profit making. Dasar pemikirannya adalah bahwa orang yang terjun ke dalam bisnis tidak punya keinginan dan tujuan lain selain ingin mencari keuntungan.kegiatan bisnis adalah kegiatan ekonomis dan bukan kegiatan sosial. Karena itu, keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis. Tanpa keuntungan dari bisnis tersebut maka bisnis tidak bisa jalan atau tidak bisa bertahan.

Umumnya pandangan ini dianggap sebagai pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) dan ekonomi neo-klasik (misalnya Milton Friedman). Adam Smith sendiri berpendapat bahwa pemilik modal harus mendapat keuntungan untuk bisa merangsangnya menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif. Tanpa keuntungan, pemilik modal tidak akan menanamkan modalnya, dan itu berarti tidak akan ada pekerja yang dipekerjakan dan konsumen tidak akan mendapat barang kebutuhannya dan tentu saja ini berarti bahwa bisnis tersebut tidak akan berjalan.

Asumsi Adam Smith adalah bahwa, pertama, dalam masyarakat modern telah terjadi pembagian kerja di mana setiap orang tidak bisa lagi mengerjakan segala sesuatu sekaligus dan bisa memenuhi semua kebutuhan hidupnya sendiri. Manusia modern harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menukarkan barang produksi dengan barang produksi milik orang lain. Dalam perkembangan zaman ada yang berhasil mengumpulkan modal dan memperbesar usahanya sementara yang lain hanya bisa menjadi pekerja pada orang lain. Maka terjadi kelas atau stratifikasi sosial pada masyarakat modern.

Kedua, semua orang tanpa terkecuali mempunyai kecenderungan dasar untuk membuat kondisi hidupnya menjadi jauh lebih baik. Nah, dalam keadaan sosial di mana telah menjadi kelas-kelas sosial di atas jalan terbaik untuk tetap mempertahankan kegiatan ekonomi adalah dengan merangsang pemilik modal untuk tetap menanamkan modalnya dalam kegiatan produktif yang sangat berguna bagi ekonomi nasional dan dunia termasuk bagi kelas pekerja. Hanya dengan membuat pemilik modal menanamkan modalnya, banyak orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Satu-satunya jalan adalah dengan memberikan keuntungan pada para pemilik modal, yang berarti secara kuantitatif lewat kegiatan produktif keadaan modalnya serta kondisi hidupnya menjadi jauh lebih baik. Jadi, keuntungan adalah hal yang secara moral dan sosial baik, anatara lain karena punya akibat yang berguna bagi banyak orang lain. Karena itu secara moral tidak salah kalau orang berbisnis untuk mencari keuntungan namun tetap harus memperhatikan kode etik-kode etik agar tidak merugikan kepentingan umum.

Keuntunganpun merupakan hal yang baik, karena keuntungan merupakan semacam upah, atau imbalan, seperti halnya semua pekerja atau karyawan yang menyumbangkan tenaga dan pikirannya mendapat upah atau imbalan untuk itu. Dengan upah karyawan memperbaiki kondisi hidupnya, demikian pula dengan keuntungan pemilik modal memperbaiki kondisi hidupnya. Ini wajar dan normal. Maka, mengejar keuntungan harus dianggap sebagai hal yang baik karena juga berkaitan dengan kewajiban si pemilik modal untuk mempertahankan, atau memperbaiki kondisi hidupnya, sebagaimana halnya orang lain punya kewajiban moral untuk mempertahankan dan memperbaiki kondisi hidupnya.

Dalam kaitan dengan ini, tidak mengherankan bahwa Milton Friedman mengatakan, omong kosong kalau bisnis tidak mencari keuntungan. Ia melihat bahwa dalam kenyataannya hanya keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi dasar orang berbisnis. Menurut Friedman, mencari keuntungan bukan hal yang jelek, karena semua orang memasuki bisnis selalu dengan punya satu motivasi dasar mencari keuntungan. Artinya, kalau semua orang masuk dalam dunia bisnis dengan satu motivasi dasar untuk mencari keuntungan, maka sah dan etis kalau saya pun mencari keuntungan dalam bisnis.

b. pandangan ideal

Pandangan ini saya sebut sebagai pandangan ideal karena dalam kenyataan masih merupakan suatu hal yang ideal mengenai dunia bisnis. Harus diakui bahwa sebagai pandangan yang ideal pandangan ini baru dianut oleh segelintir orang yang dipengaruhi oleh idealisme tertentu berdasarkan nilai tertentu yang dianutnya.

Menurut pandangan ini bisnis tidak lain adalah suatu kegiatan diantara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pandangan ini tidak menolak bahwa keuntungan adalah tujuan utama bisnis. Tanpa keuntungan bisnis tidak bisa bertahan. Namun keuntungan hanya dilihat sebagai konsekuensi logis dari kegiatan bisnis. Yaitu, bahwa dengan memenuhi kebutuhan masyarakat secara baik, keuntungan akan datang dengan sendirinya. Masyarakat akan merasa terikat membeli barang dan jasa yang ditawarkan oleh perusahaan yang memenuhi kebutuhan mereka dengan mutu dan harga yang baik itu. Sehingga pengaruh ini dapat dikatakan sebagai pengaruh yang baik dari akibat pelaku bisnis memperhatikan dan membuat mutu yang diharapkan oleh masyarakat.

Dasar pemikirannya adalah pertukaran timbal balik secara fair diantara pihak-pihak yang terlibat. Maka, yang mau ditegakan dalam bisnis yang menganut pandangan ini adalah keadilan komutatif, khususnya keadilan tukar atau pertukaran dagang yang fair. Sesungguhnya pandangan ini pun bersumber dari ekonomi klasiknya Adam Smith. Menurut Adam Smith, pertukaran dagang terjadi karena satu orang memproduksi lebih banyak barang tertentu sementara ia sendiri membutuhkan barang lain yang tidak bisa dibuatnya sendiri. Jadi, sesungguhnya kegiatan bisnis terjadi karena keinginan untuk saling memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Itu berarti, kegiatan bisnis sesungguhnya tidak lain merupakan perwujudan hakikat sosial menusia saling membutuhkan satu sama lain karena tanpa orang lain (dan hasil kerjanya) manusia tidak dapat hidup. Dengan kata lain, tujuan utama bisnis sesungguhnya bukan untuk mencari keuntungan melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain, dan melalui itu (dan menurut Adam Smith, hanya melalui itu) ia bisa memperoleh apa yang dibutuhkannya. ”Berikanlah apa yang saya inginkan, dan Anda akan memperoleh [dariku] ini yang Anda inginkan,” kata Adam Smith.[7] Kendati pertukaran dagang ini, menurut Adam Smith, terutama dilandasi oleh kepentingan pribadi masing-masing, yang secara moral baik, pertukaran dagang atau bisnis merupakan upaya saling memenuhi kebutuhan masing-masing, yang hanya akan paling mungkin dipenuhi kalau kepentingan masing-masing orang diperhatikan. Sehingga akibat saling pemenuhan kebutuhan antar sesama akan menimbulkan suatu relasi dan bahka kode etik atau aturan main yang baru dalam bisnis itu sendiri. Hal ini dapat dicontohkan misalnya dua orang yang saling berbisnis, karena suatu tingkat saling kepercayaan yang sangat tinggi maka seseorang diantara keduanya dapat memeberikan ptongan harga dalam menjual barang produksinya.

Pandangan ini juga telah dihayati dan dipraktekan dalam kegiatan bisnis oleh beberapa pengusaha, bahkan menjadi etos bisnis dari perusahaan yang mereka dirikan atau pimpin. Ambil saja misalnya Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita Inc, di Jepang. Menurut Matsushita, tujuan bisnis sebenarnya bukanlah keuntungan melainkan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Sedangkan keuntungan tidak lain hanyalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis suatu perusahaan. Artinya, karena masyarakat merasa kebutuhan hidupnya dipenuhi secara baik mereka akan menyukai produk perusahaan tersebut yang memang dibutuhkannya tapi sekaligus juga puas dengan produk tersebut. Maka, mereka akan tetap membeli produk tersebut, dari situlah keuntungan akan mengalir terus. Dengan demikian, yang pertama-tama menjadi fokus perhatian dalam bisnisnya bukanlah mencari keuntungan, melainkan apa kebutuhan mesyarakat dan bagaimana melayani kebutuhan masyarakat itu secara baik, dan dari sanalah ia memperoleh keuntungan.

Dengan pandangan bisnis semacam ini, menurut Matsushita, bisnis yang baik selalu mempunyai misi tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan sebagaimana terungkap dalam judul bukunya, Not For Bread Alone.[8] Bagi perusahaannya, misi itu adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, menyejahterakan masyarakat, dan membuat hidup manusia lebih menusiawi melalui pemenuhan kebutuhan mereka secara baik. Karena yang utama adalah memenuhi kebutuhan hidup manusia, dalam bisnis, perhatian terutama ditujukan pada konsumen dan juga karyawan perusahaan tersebut. ini menjadi etos bisnis yang dihayati oleh semua karyawan sejak masuk dalam perusahaan tersebut dan sekaligus menjadi keunggulan dan siri khas perusahaan.

Pandangan Matsushita di atas, sebenarnya dalam arti tertentu tidak sangat idealistis, karena lahir dari sebuah visi bisnis yang kemudian diperkuat dan didukung oleh pengalamannya dalam mengelola bisnisnya. Ternyata perusahaan dan bisnisnya berhasil dan bertahan lama, tanpa perlu harus menggunakan segala cara demi mencapai keuntungan. Demikian pula pandangan seperti itu diakui dan dibuktikan kebenarannya oleh pengalaman banyak perusahaan yang juga mengembangkan nilai budaya perusahaan tertentu atau etos bisnis bagi perusahaan tersebut. kutipan-kutipan yang kami cantumkan pada lampiran mengenai prinsip pedoman IBM, Kredo Johnson and Johnson, dan keyakinan perusahaan Borg-Warner adalah segelintir contoh konkret mengenai kebenaran pandangan ini. Keberhasilan perusahaan-perusahaan tersebut, yang menganut pandangan semacam itu, seklaigus menunjukan bahwa pandangan ideal mengenai bisnis tersebut bukan suatu khayalan yang tidak laku. Bersamaan dengan itu juga membuktikan bahwa etika sesungguhnya juga mempunyai peran besar dalam menentukan kelangsungan dan keberhasilan bisnis suatu perusahaan dalam jangka panjang.

Dengan melihat kedua pandangan berbeda di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa citra jelek dunia bisnis sedikit banyaknya disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis sekedar mencari keuntungan. Tentu saja, pada dirinya sendiri, sebagaimana telah dikatakan keuntungan tidak jelek. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya punya satu tujuan untuk mencari keuntungan sangat berbeda dari pandangan alternatif lainnya. Yang terjadi adalah munculnya sikap dan perilaku yang menjurus pada menghalalkan segala cara, termasuk cara yang tidak dibenarkan siapapun bahkan pelaku bisnis itu sendiri ketika ia berada pada posisi yang dirugikan, hanya demi memperoleh keuntungan. Akibatnya, para pelaku bisnis tersebut hidup dalam suatu dunia yang bahkan ia sendiri, sejauh sebagai manusia, tidak diinginkannya.[9]

Atas dasar ini, persoalan yang dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh itu memang wajar, halal, dan fair. Terlepas dari pandangan mana yang dianut, keuntungan tetap menjadi hal pokok bagi bisnis. Masalahnya adalah apakah mengejar keuntungan lalu berarti mengabaikan etika dan moralitas? Yang penting adalah bagaimana keuntungan itu sendiri dicapai.[10]

Salah satu upaya untuk membangun bisnis sebagai profesi yang luhur adalah dengan membentuk, mendukung dan memperkuat organisasi profesi. Melalui organisasi profesi tersebut bisnis bisa dikembangkan sebagai sebuah profesi dalam pengertian yang sebenar-benarnya sebagaimana dibahas di sini, kalau bukan menjadi profesi luhur. Tentu saja sangat sulit untuk membentuk sebuah organisasi profesi yang mencakup semua bidang bisnis. Rasanya Kadin dapat berperan untuk itu. Yang lebih efektif adalah membentuk sebuah organisasi profesi yang mencangkup semua bisang bisnis. Rasaya Kadin dapat berperan untuk itu. Yang lebih efektif adalah membentuk organisasi profesi untuk setiap kelompok atau bidang bisnis : tekstil, konstruksi, bisnis eceran, kayu, tambang, dan sebagainya. Organisasi-organisasi ini tidak hanya menangani kegiatan bisnis teknis dari kelompoknya, melainkan juga semacam polisi moral yang akan memeberi rekomendasi kepada pemerintah dalam mengeluarkan izin usaha bagi anggotanya dan tanpa rekomendasi itu izin tersebut tidak akan diperoleh. Atau, paling kurang organisasi ini memberi peringkat atau label kualitas yang menentukan sehat tidaknya, etis tidaknya perusahaan-perusahaan yang menjadi anggotanya. Peringkat atau label ini sangat diandalkan masyarakat dan semua pelaku bisnis lainnya sehingga membuat para anggota marasa sangat membutuhkannya dengan menjadi anggota setia dari organisasi profesi tersebut. Dapat disimpulkan bahwa badan-badan yang bertugas dalam mengelola sekumpulan orang dengan profesi yang sama dapat dan bahkan harus bisa menjadi pemantau dan bahkan pembatas profesional dalam menjalankan profesinya sesuai dengan etika yang telah dibuat dan disepakati oleh seluruh anggota badan tersebut.

Kalau cara ini ditempuh, disertai dengan kontrol yang ketat dari organisasi profesi, akan bisa terwujud iklim bisnis yang lebih baik dan kondusif. Tentu saja inipun mangandalkan bahwa organisasi profesi itu sendiri bersih dan baik : tidak ada nepotisme, tidak ada kolusi, tidak ada diskriminasi dalam pemberian rekomendasi, peringkat atau label kualitas, tidak ada koneksi, tidak ada suap dan atau semacamnya. Jadi, integritas organisasi profesi tersebut juga pertama-tama tinggi dan baik. Demikian pula, ini pun mengandalkan bahwa pemerintah, melalui departemen terkait, memang bersih dari praktek-praktek yang malah akan merusak citra bisnis yang baik dan etis. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa departemen-departemen yang dimiliki / dikelola oleh pemerintah haruslah bisa menjadi teladan bagi organisasi maupun profesi yang ada di Indonesia. Dapat diprediksi juga bahwa dengan adanya profesionalisme dalam departemen-departemen pemerintah maka akan menjadikan pemerintah lebih dipandang sebagai suatu institusi yang lebih terhormat dan profesional dalam menjalankan tugas-tugasnya sesuai dengan etika profesi yang diterapkan pada masing-masing departemen tersebut.

IV. Kesimpulan yang Dapat Ditarik Penulis

Etika profesi adalah merupakan kode etik yang memiliki suatu aturan sesuai dengan profesi yang dijalankannya dan memilik sanksi bagi pelanggarnya. Seorang profesional sudah seharusnya melakukan profesinya untuk tujuan melayani masyarakat dan bukannya semata-mata demi keuntungan pribadi tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat. Kode etik dibuat sebagai batasan / pengendali pelaku profesi, baik dari segi moral, tanggung jawab maupun hal lainnya. Oleh karena itu banyak dibuat organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga yang merupakan wadah dan sekaligus berfungsi sebagai pengendali profesi dengan cara membuat etika profesi yang spesifik.

Pada dasarnya bisnis adalah sebuah profesi yang sebenarnya bertujuan untuk melayani masyarakat pula. Dengan melakukan bisnis demi tujuan melayani masyarakat ini dan bukan semata-mata hanya mencari keuntungan belaka, maka dengan sendiri akan timbul suatu pengharhaan tertentu dari masyarakat, yaitu dari keuntungan usaha. Apabila etika dalam berbisnis dikesampingkan, misalnya saja dengan melakukan penpuan dan lain sebagainya, maka akan berdampak kepada buruknya pandangan masyarakat terhadap bisnis tersebut. Hal ini pada akhirnya akan menekan bisnis tersebut maupun menghancurkannya.

Oleh karena itu sangatlah penting bagi seorang profesional untuk menjalankan etika profesi sesuai dengan bidangnya masing-masing. Karena hal ini, selain merupakan sebuah tanggung jawab moral, juga merupakan identitas diri dari profesional tersebut di hadapan masyarakat dan lingkungannya.



[1] Richard T. De George, Business Ethics, ed. Ke-2 (New York : MacMillan Pub., Com), hal 37

[2] Bandingkan prinsip-prinsip etika bisnis yang akan dibicarakan kemudian.

[3] Ini sangat berkaitan dengan prinsip interitas pribadi yang akan dibicarakan di bawah

[4] Prinsip ini akan dibicarakan lagi dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip etika bisnis dan akan dibicarakan secara panjang dan lebar pada Bab VII.

[5] Pertanyaan retorik yang menggelitik adalah apakah karena tidak pernah ada pejabat Indonesia, termasuk yang punya profesi luhur seperti bidang pengadilan dan peradilan, yang mundur dari jabatannya walaupun diduga kuat melanggar nilai-nilai tertentu, termasuk korupsi, yang seharusnya tidak dilakukan oleh mereka, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak mengenal prinsip integritas moral? Apakah bangsa Indonesia tidak pernah mengenal malu? Ataukah karena sistem dan budaya Indonesia yang feodalistis selalu menekankan agar pejabat selalu harus dijaga nama baiknya oleh orang lain (antara laindengan menutupi perbuatannya sebagai sekedar kesalahan prosedur), sementara ia sendiri tidak perlu menjaga nama baiknya. Atau hanya karea ia tahu bahwa budaya Indoensia selalu menjaga nama baik pejabat maka ia dengan senaknya tidak lagi peduli pada nama baiknya itu (karena masyarakat tokh tidak akan menuntutnya dan malah sebaliknya akan menjaga nama baknya terlepas dari apapun perilakunya) ?

[6] Lampiran di bagian belakang buku ini memperlihatkan dengan jelas bahwa ada perusahaan tertentu yang sangat profesional dalam arti sebenar0benarnya dan karena itu teap menganggap penting perlunya kode etik, komitmen moral, perilaku moral dan semacamnya bagi kegiatan bisnisnya baik kedalam maupun keluar dalam relasi bisnisnya dengan pihak lain.

[7] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Cause of the Wealth of Nations (1776) (New York : Modern Library, 1965).

[8] Konosuke Matsishita, Not For Bread Alone. A Business Ethos, A Management Ethics (Kyoto : PHP Institute, 1988). Buku ini lebih merupakan pembeberan fil;safat bisnis serta pengalamannya dalam mengelola perusahaannya.

[9] Contoh sederhana, produsen mana pun yang ketika berada pada posisi konsumen tidak akan menerima dirugikan oleh produsen atau perusahaan manapun. Ini saja menunjukkan bahwa semua pengusaha, di lubuk hatinya yang dalam, paham dan sadar betul bahwa bisnis harus dijalankan secara baik. Hanya saja mereka membungkam kesadaran itu karena dirasuki oleh prinsip keuntungan tadi. Anehnya lagi, semua perusahaan mengeluarkan uang milyaran rupiah hanya untuk iklan dan promosi demi merebut konsumen. Tapi setelah konsumen didapat dikecewakan. Padahal mereka tahu bahwa ini sangat kontra produktif. Jadi, mereka hidup dalam angan-angan semu, sambil menganggap pengusaha yang masih peduli pada etika dan kepentngan masyarakat sebagai hidup dalam angan-angan.

[10] Lihat “Keuntungan dan Etika” pada bab berikut.